Orange Bobblehead Bunny

Wednesday, 24 April 2013

PENGALAMAN PASIEN SINDROM GUILLAIN-BARRE (SGB) PADA SAAT KONDISI KRITIS DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU) RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG


1
Wahyu Rima Agustin
1
1
Prodi S-1 Keperawatan, STIKes Kusuma Husada Surakar
ta
ABSTRAK
Pengalaman Pasien Sindrom Guillain-Barre Pada Saat
Kondisi Kritis dipersepsikan
berbeda oleh setiap pasien. Penelitian ini mengguna
kan penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif fenomenologi. Tujuan peneliti
an ini adalah untuk
mendeskripsikan secara mendalam pengalaman fisik, p
sikologis, spiritual dan sosial
pasien Sindrom Guillain-Barre pada saat kondisi kri
tis di ruang Intensive Care Unit
(ICU) RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian in
i melibatkan 4 partisipan
Sindrom Guillain-Barre. Pasien yang menjadi partisi
pan adalah yang teridentifikasi
mempunyai pengalaman dirawat diruang intensif dan m
ampu menceritakan
pengalamannya. Pengumpulan data dilakukan dengan te
hnik wawancara mendalam.
Metode yang digunakan untuk analisa data yaitu meto
de Colaizzi. Setelah data
dianalisa, peneliti dapat mengidentifikasi pengalam
an pasien Sindrom Guillain-
Barre, pada saat kondisi kritis. Terdapat 5 tema pe
ngalaman fisik: badan lemah,
sesak nafas, rasa baal, nyeri tenggorokan dan batuk
. Ada 3 tema pengalaman
psikologis: tidak percaya, sedih dan takut. Terdapa
t 2 tema pengalaman spiritual:
seperti diambang kematian dan pasrah. Terdapat 3 te
ma pengalaman sosial:
dukungan keluarga yang positif, tidak bisa berbicar
a dan tidak bisa berinteraksi.
Hasil penelitian bermanfaat untuk meningkatkan sika
p caring perawat pada pasien
saat kondisi kritis, pada kebutuhan fisik, psikolog
is, spiritual dan sosial. Perawat
tidak hanya berfokus dalam pemenuhan kebutuhan fisi
k saja tetapi kebutuhan
psikologis, spiritual dan sosial sangat dibutuhkan
sebagai upaya memberikan
motivasi untuk sembuh pada pasien Sindrom Guillain-
Barre.
Kata kunci
:
Sindrom Guillain-Barre, Pengalaman, Kondisi Kritis,
Fisik, Psikologis,
Spiritual, Sosial.
ABSTRACT
The experiences of patients with Guillain-Barre Syn
drome during a critical condition
is perceived differently by different patients. Thi
s research used a qualitative
research with a descriptive-phenomenological approa
ch. The objective of this
research was to deeply describe physical, psycholog
ical, spiritual, and social
experiences of patients with Guillain-Barre Syndrom
e during a critical condition at
dr. Hasan Sadikin Bandung Public Hospital’s Intensi
ve Care Unit (ICU). This
research involved 4 participants of Guillain-Barre
Syndrome. Those patients who
were selected as participants were identified as ha
ving an experience of being
treated at an intensive room and capable of telling
their experiences. Data collection
was conducted by an in-dept interview technique. Th
e method used for data analysis
was Colaizzi method. After the data has been analyz
ed, the researcher could identify
the experiences of patients with Guillain-Barre Syn
drome during a critical condition.
There were 5 themes of physical experiences: malais
e, short-winded, numb, throat
2
pain, and cough. There were three themes of psychol
ogical experiences: unbelief,
distressing, and fearful. There were two themes of
spiritual experiences: like being at
the edge of dying and sense of submission. There we
re three themes of social
experiences: positive family support, unable to spe
ak, and enable to interact.The
findings of research were useful for enhancing the
caring attitude of nurses to their
patients during a critical condition and to physica
l, psychological, spiritual, and
social needs. Nurses should focus not only on the f
ulfillment of physical needs but
psychological, spiritual, and social needs are also
strongly needed as an attempt to
provide a motivation to recovery to patients with G
uillain-Barre Syndrome.
Keywords:
Guillain-Barre Syndrome, Experience, Critical Cond
ition, Physical,
Psychological, Spiritual, Social.
PENDAHULUAN
Sindrom Guillain-Barre (SGB) yaitu penyakit autoimu
n yang menyerang
selubung myelin pembungkus saraf perifer, yang meru
pakan penyebab utama
acute
flaccid paralysis
(Parry, 1993). SGB umumnya terjadi didahului oleh a
danya infeksi
pernafasan, gastrointestinal sekitar 1 – 4 minggu s
ebelum terjadi serangan neurologik
(Asbury, 1981). Sistem kekebalan tubuh menghancurka
n selubung myelin dan akson,
sehingga saraf tidak dapat mengirim sinyal secara e
fisien ke otak. Gejala yang
ditimbulkan berupa kelemahan dan sensasi kesemutan
di kaki dan tangan,
ketidakmampuan berjalan, kesulitan gerakan mata, wa
jah, berbicara, mengunyah
atau menelan dan rasa sakit di punggung bagian bawa
h, sulit mengontrol kandung
kemih atau fungsi usus. SGB apabila tidak tertangan
i dari awal timbulnya gejala
dapat mengakibatkan kelumpuhan yang bisa menyebabka
n kematian (Parry, 1993).
Komplikasi paling berat pada penderita SGB yaitu ke
matian, yang disebabkan
oleh kelemahan atau paralisis pada otot – otot pern
afasan, dimana angka mortalitas
sekitar 5% bila terjadi paralisis pernapasan. Kemat
ian pada SGB biasanya
disebabkan oleh pneumonia, sepsis dan
Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) (Van koningsveld, 2002). Gejala SGB sampai p
ada kondisi penderita
menjadi lumpuh bisa berlangsung beberapa hari dan b
isa memburuk dengan cepat
dalam beberapa jam.
SGB dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis yang
membutuhkan perawatan intensif, karena perjalanan p
enyakit yang begitu cepat.
Sekitar 30% terjadi kesulitan bernafas dan memerluk
an bantuan ventilasi mekanik.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendet
eksi kemungkinan penggunaan
ventilasi endotrakeal adalah waktu antara terjadiny
a onset hingga masuk rumah sakit

Saturday, 20 April 2013

PENGARUH SUPLEMENTASI ZAT GIZI MIKRO TERHADAP STATUS BESI DAN STATUS VITAMIN A PADA SISWA SLTP

Gizi Indon 2011, 34(1):14-22 Pengaruh suplementasi zat gizi mikro Dewi Permaesih, dkk.
14
Dewi Permaesih1; Fitrah Ernawati1; Endi Ridwan1; Sihadi1; dan Sukati Saidin1
1Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan
ABSTRAK
Penelitian status gizi siswa sekolah lima tahun terakhir mengungkapkan bahwa prevalensi anemia, yang
dapat menyebabkan turunnya konsentrasi belajar, dan kurang vitamin A, yang dapat menyebabkan
turunnya daya tahan tubuh, masih cukup tinggi, sehingga menjadi kendala dalam upaya mengoptimalkan
prestasi belajar. Keadaannya semakin buruk jika kedua masalah ini diderita secara bersama-sama oleh
siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak suplementasi zat gizi mikro (Fe dan Vitamin A)
terhadap perbaikan status besi dan status vitamin A. Penelitian dilaksanakan pada 150 siswa anemia yang
tinggal di kabupaten Bogor. Data yang dikumpulkan meliputi: identitas siswa, kadar Hb, s-transferin,
vitamin A serum (retinol), konsumsi makanan/zat gizi dan energi. Sebelum pemberian suplemen,
dilakukan “deworming” dengan pemberian obat cacing dosis tunggal “Combantrin”. Sampel dibagi tiga
kelompok, masing-masing 50 siswa. Pada kelompok A setiap siswa mendapat satu pil besi (ferro sulfat)
dengan dosis 60 mg besi elemental +0,25 mg asam folat dan kapsul vitamin A (10.000 SI) dua kali per
minggu. Kelompok B hanya mendapat satu pil besi seperti pada kelompok A, diberikan dua kali per
minggu. Kelompok C adalah kelompok pembanding yang mendapat plasebo. Suplementasi berlangsung
selama 12 minggu. Pemberian suplemen satu pil besi (60 mg besi elemental + 0,25 mg asam folat) dan
vitamin A (10.000 SI) disertai pemberian snack mengandung energi (15% AKG), dua kali per minggu
selama 12 minggu dapat memeningkatkan kadar Hb sebesar 1,40 g/dl, serum transferrin receptor (sTFR)
sebesar – 1,0 Cg/L, serum vitamin A (retinol) sebesar 6,1 Cg/dl. Tidak ada perbedaan bermakna konsumsi
zat gizi (energi dan protein) sebelum dan sesudah pemberian suplementasi.
Kata kunci: vitamin A, zat besi, siswa, anemia, KVA
ABSTRACT
THE IMPACT OF MICRONUTRIENT SUPPLEMENTATION ON THE NUTRITION STATUS
OF Fe AND VITAMIN A OF SCHOOL CHILDREN
Research on nutritional status of school children in the last five years revealed that prevalence of anemia,
which was able to decrease the learning concentration of children, and vitamin A deficiency, which could
reduce the children immunity, considered as constraints in optimalizing students learning performance.
The condition could be worse when students suffered of these 2 problems. This study was aimed to find
out the impact of micronutrient supplementation (Fe and Vitamin A) on Fe and Vitamin A status of the
school children. The sample of the study consisted of 150 anemia students lived in the municipality of
Bogor. Data collected were child identity, haemoglobin level, serum transferin, vitamin A serum (retinol),
and data on dietary intake of some nutrients and energy. Before supplementation was given, children
received deworming with single dose of Combatrin. Samples were divided into 3 groups, each group
consisted of 50 students. Supplementation had been given for 12 weeks, with the arrangement as follows:
1) In a Group A, each student received one iron pill (ferrous sulphate) with the dosage of 60 mg elemental
iron + 0.25 mg of folic acid and capsule of vitamin A (10,000 IU) twice a week, 2)In a Group B, each student
only received one iron pill similar to the Group A, twice a week, and 3) In a Group C, the group received a
placebo. Supplementation of iron pill (60 mg elemental iron + 0.25 mg of folic acid) and vitamin A (10,000
IU) added with snack which had energy equal to 15% of RDA for 12 weeks, could improve the
haemoglobin level up to 1.40 g/dl, serum transferin receptor (STFR) up to 1.0 Cg/dl. There was no
siginificant difference of energy and protein intakes before and after supplementation.
Keywords: vitamin A, iron, student, anemia, vitamin A deficiency
PENDAHULUAN
nak sekolah merupakan sumber daya
manusia (SDM) generasi penerus bangsa
yang potensinya perlu terus dibina dan
dikembangkan. Kualitas SDM ditentukan oleh
dua faktor yang saling berhubungan, yaitu
pendidikan dan kesehatan. Status gizi dan
kesehatan merupakan prakondisi utama yang
harus dipenuhi untuk keberhasilan upaya A
Gizi Indon 2011, 34(1):14-22 Pengaruh suplementasi zat gizi mikro Dewi Permaesih, dkk.
15
pendidikan. Beberapa hasil penelitian
mengungkapkan sebagian anak sekolah masih
mengalami berbagai masalah kurang gizi.1,2
Hasil penelitian Saidin, 20093 menemukan
prevalensi anemia pada anak remaja SMP di
perdesaan masih cukup tinggi sebesar 26,5
persen. Dampak anemia pada kalangan pelajar
sangat merugikan karena membuat lesu, lemah,
semangat belajar menurun, rentan terhadap
penyakit sehingga berakibat konsentrasi dan
prestasi belajar menurun.
Selain anemia pada anak sekolah
ditemukan juga masalah defisiensi vitamin A.
Gambaran terakhir besarnya masalah defisiensi
vitamin A (kadar retinol<20 ug/dl) dari penelitian
Saidin sebesar 28,9 persen. Hasil penelitian
Wiryatmaji B, 20074 kadar serum vitamin A<20
ug/dl pada anak sekolah sebesar 24 persen.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ke Chen et
al. (2009) pada anak berumur 2–7 tahun
menunjukkan anak dengan Kurang Vitamin A
secara bermakna berisiko lebih tinggi untuk
menderita anemia (OR=2.56; CI 95%: 1.15-
5.70).5 Menurut Gamble, et al. (2004)6,
kekurangan vitamin A dan kurang zat besi
merupakan faktor penyebab terjadinya anemia.
Terdapat hubungan yang erat antara vitamin A
dan indikator metabolisme zat besi. Pada anak
yang kurang vitamin A dan zat besi pemberian
vitamin A akan memobilisasi cadangan zat besi
untuk meningkatkan erythropoiesis, dengan
meningkatkan sirkulasi erythropoietin7. Kondisi
ini berpengaruh terhadap pembentukan
haemoglobin (Hb). Bila terjadi kekurangan akan
menyebabkan terganggunya metabolisme dan
kekurangan vitamin A dan juga dapat
menurunkan kekebalan tubuh terhadap penyakit
infeksi.7
Salah satu penyebab tingginya prevalensi
anemia dan masalah kurang vitamin A (KVA) di
Indonesia adalah masih rendahnya konsumsi
zat besi dan retinol dalam makanan sehari-hari.
Saidin, 20093 menemukan bahwa konsumsi zat
besi dan retinol pada remaja masing-masing
sebesar 40 persen dan 50 persen dari angka
kecukupan yang dianjurkan (RDA). Oleh karena
itu diperlukan tambahan (suplemen) asupan
untuk memenuhi defisit kedua zat gizi mikro
tersebut. Untuk mengoptimalkan pembentukan
Hb diberikan penambahan vitamin A pada saat
suplementasi pil zat besi pada anak sekolah
SLTP.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan disain kuasi
eksperimen. Populasi penelitian adalah murid
SLTP kelas 8 dan 9. Sedangkan sampel
penelitian adalah murid SLTP kelas I dan II
yang memenuhi kriteria inklusi yaitu: umur 12 –
15 tahun, sehat secara pemeriksaan klinis,tidak
menderita penyakit kronis, kadar Hb antara 8
sampai 11,9 g/dl dan bersedia berpartisipasi
dalam penelitian. Dari perhitungan besar
sampel didapatkan 50 sampel per kelompok.8
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kabupaten
Bogor di dua SLTP di kecamatan Sukaraja dan
Rancabungur. Pelaksanaan penelitian
berlangsung selama 8 bulan pada tahun 2010.
Cara Pengambilan Sampel
Pemilihan SLTP dilakukan secara
purposive berdasarkan hasil penelitian Saidin,
2009. Terhadap semua anak kelas 1 dan 2 dari
SLTP terpilih dilakukan pemeriksaan kadar Hb
untuk mencari 150 anak penderita anemia, dan
secara random akan dibagi menjadi tiga
kelompok penelitian. Kelompok A (50 orang),
kelompok B (50 orang), dan kelompok C (50
orang). Kemudian kepada seluruh anak
diberikan obat cacing Albendazole dosis
tunggal. Selanjutnya mulai dilakukan
suplementasi selama 12 minggu. Kelompok A
mendapat tablet besi dengan dosis 60 mg dan
kapsul vitamin A dengan dosis 10.000 S.I. per
orang dua kali per minggu. Kelompok B
mendapat satu pil besi (ferro sulfat) dengan
dosis 60 mg besi elemental + 0,25 mg asam
folat setiap orang dua kali per minggu.
Kelompok C adalah kelompok pembanding
yang mendapat plasebo. Pemberian pil zat besi
dilakukan di sekolah oleh guru. Masing-masing
kelompok sebelum memperoleh zat besi telah
diberikan makanan snack sebagai tambahan
energi (15% AKG). Setelah tiga bulan intervensi
dilakukan pemeriksaan evaluasi dengan
pengukuran berat badan dan tinggi badan,
pemeriksaan kadar Hb, trasferin, vitamin A
dalam serum dan pengukuran konsentrasi
belajar. Data penting yang akan dikumpulkan
adalah data cakupan konsumsi tablet besi dan
kapsul vitamin A masing-masing anak yang
setiap minggu dengan cara absensi.
Gizi Indon 2011, 34(1):14-22 Pengaruh suplementasi zat gizi mikro Dewi Permaesih, dkk.
16
Data lain yang akan dikumpulkan adalah
konsumsi zat gizi dengan metoda recall 2 x 24
jam, pola konsumsi makanan dengan metode
FFQ (Food Frequency Questionaire), riwayat
penyakit dan kejadian sakit (morbiditas). Data
morbiditas akan dikumpulkan dengan cara
wawancara oleh peneliti.
Pengumpulan data meliputi:
1. Data identitas murid termasuk pendidikan
dan pekerjaan orang tua, jumlah aggota
dalam rumah tangga, kesehatan
lingkungan yang akan dikumpulkan dengan
cara wawancara.
2. Data klinis untuk menetapkan status
kesehatan dilakukan oleh dokter dengan
mengisi formulir yang telah tersedia.
3. Data status gizi berdasarkan antropometri
(berat badan dan tinggi badan) oleh tenaga
terlatih dari Puslitbang Gizi dan Makanan.
4. Data Hb dianalisis dengan metoda
”Cyanmethemoglobin”, kadar tansferin
dengan metoda ”ELIZA” dan kadar vitamin
A dengan metoda HPLC.
5. Data konsumsi makanan dilakukan dengan
metoda ”Recall” 2x 24 jam.
6. Data cakupan konsumsi pil zat besi dan
Vitamin A dikumpulkan dengan cara
absensi setiap kali minum oleh peneliti atau
guru.
Manajemen dan analisis data
Manajemen data meliputi kegiatan editing,
entri dan cleaning data sebelum dilakukan
analisis. Analisis data ditujukan untuk mencapai
tujuan penelitian. Data disajikan dalam bentuk
rata-rata, simpang baku, sebaran, uji statistik
yang akan digunakan adalah uji bivariat dan
Anova.
HASIL
Karakteristik Sampel
Hasil pengumpulan data identitas atau
karakteristik sampel disajikan pada Tabel 1 dan
Tabel 2. Umur sampel berkisar antara 11–15
tahun, berat badan antara 25,3 – 56,7 kg dan
tinggi badan antara 127,6 – 162,8 cm dan IMT
berkisar 14,0 – 24,3 kg/m2. Rerata umur sampel
untuk ketiga kelompok penelitian hampir sama,
masing-masing sebesar 13,4 ± 0,88 thn, 13,7 ±
0,75 thn dan 13,6 ± 1,06 thn. Rerata Indeks
Massa Tubuh (IMT) sebagai gambaran
simpanan lemak untuk ketiga kelompok
penelitian juga hampir sama (Tabel 1).
Tabel 1
Karakteristik Sampel menurut Kelompok
Variabel
Kelompok
A B C
Rerata ± SD Rerata ± SD Rerata ± SD
Umur (tahun) 13,4 ± 0,88 13,7 ± 0,75 13,6 ± 1,06
Berat Badan (Kg) 37,5 ± 7,02 37,2 ± 6,34 38,1 ± 6,86
Tinggi Badan (Cm) 146,8 ± 7,89 146,2 ± 6,89 146,7 ± 7,79
IMT (kg/m2) 17,3 ± 1,91 17,3 ± 1,92 17,6 ± 2,36
Dari Tabel 2 terlihat bahwa pendidikan
orang tua sampel cukup rendah, sebagian
besar ibu hanya lulus sekolah dasar sebesar
71–79 persen. Presentase ibu lulus SD untuk
ketiga kelompok penelitian hampir sama
masing-masing sebesar 78,7 persen, 71,1
persen dan 74,5 persen. Urutan kedua adalah
lulus SMP masing-masing sebesar 10,6 persen,
13,3 persen dan 10,6 persen. menurut variabel
pendidikan bapak, urutan pertama adalah lulus
SD masing-masing sebesar 70,2 persen, 62,2
persen dan 59,6 persen, untuk urutan kedua
juga lulus SMP, masing-masing sebesar 21,3
persen, 20,0 persen dan 23,4 persen untuk
kelompok A, B dan C.
Pekerjaan ibu sebagian besar adalah ibu
rumah tangga, kelompok A sebesar 85,2
persen, kelompok B sebesar 82,2 persen dan
kelompok C sebesar 85,2 persen. Pekerjaan
bapak sebagian besar adalah buruh dengan
pendapatan tidak tetap. Kelompok A sebesar
44,7 persen, kelompok B sebesar 44,5 persen
dan kelompok C sebesar 42,6 persen. Urutan
kedua adalah pedagang masing–masing
sebesar 23,4 persen, 22,2 persen dan 19,1
persen.
Gizi Indon 2011, 34(1):14-22 Pengaruh suplementasi zat gizi mikro Dewi Permaesih, dkk.
17
Tabel 2
Karakteristik Orang Tua Sampel menurut Kelompok
Pendidikan Ibu
A B C
n % n % n %
1.Tidak sekolah dan tidak tamat SD 4 8,5 6 13,3 5 10,6
2.Tamat SD 37 78,7 32 71,1 35 74,5
3.Tamat SMP 5 10,6 6 13,3 5 10,6
4.Tamat SMA, D3 1 2,1 1 2,2 2 4,3
47 100,0 45 100,0 47 100,0
Pendidikan Bapak
A B C
n % n % n %
1.Tidak sekolah dan tidak tamat SD 3 6,4 6 13,3 6 12,8
2.Tamat SD 33 70,2 28 62,2 28 59,6
3.Tamat SMP 10 21,3 9 20,0 11 23,4
4.Tamat SMA, D3 1 2,1 2 4,5 2 4,2
47 100,0 45 100,0 47 100,0
Pekerjaan Ibu
A B C
n % n % n %
1.Tidak bekerja 40 85,2 37 82,2 40 85,2
2.Pegawai Negeri/Swasta 1 2,1 2 4,4 1 2,1
3.Buruh 2 4,3 3 6,7 2 4,3
4.Pedagang 4 8,4 3 6,7 4 8,4
47 100,0 45 100,0 47 100,0
Pekerjaan Bapak
A B C
n % n % n %
1.Tidak bekerja 2 4,2 2 4,4 3 6,4
2.Pegawai Negeri/Swasta 7 14,9 8 17,8 7 14,9
3.Buruh 21 44,7 20 44,5 20 42,6
4.Pedagang 11 23,4 10 22,2 9 19,1
5.Petani 3 6,4 2 4,4 3 6,4
6.Sopir 3 6,4 3 6,7 5 10,6
47 100,0 45 100,0 47 100,0
Cakupan Konsumsi Pil Zat Besi dan
Vitamin A
Hasil pengumpulan data cakupan konsumsi
yang menunjukkan kepatuhan minum suplemen
menunjukkan bahwa rerata jumlah pil zat besi
dan vitamin A yang diminum kelompok A
sebesar 19±2,1 pil (79,2%), kelompok B
sebanyak 20± 3,2 pil (83,3%) dan kelompok C
yang memperoleh pil placebo sebesar 19±3,6
pil (79,2%). Dengan demikian jumlah zat besi
yang dikonsumsi oleh kelompok A yang berasal
dari suplementasi sebesar 19 pil x 60 mg/ 12
minggu = 95 mg/minggu ∞ 13,6 mg/hari.
Bila kecukupan zat gizi yang dianjurkan
untuk anak remaja sebesar 14 mg, maka jumlah
zat besi yang diperoleh dari suplementasi sudah
terpenuhi. Selain pil zat besi kelompok A juga
memperoleh satu kapsul vitamin A dengan
dosis 10000 IU, maka jumlah Vitamin A yang
diperoleh dari suplementasi sebesar 19 x 10000
IU/ 12 minggu = 15833 IU/minggu ∞ 678 RE.
Bila kecukupan vitamin A untuk anak remaja
yang dianjurkan sebesar 500 RE, maka jumlah
vitamin A yang diperoleh dari suplementasi
sudah terpenuhi. Kelompok B yang hanya
memperoleh pil zat besi saja memperoleh zat
besi dari suplementasi sebesar 20 pil x 60 mg /
12 minggu = 100 mg/minggu ∞ 14,3 mg/hari.
Seperti kelompok A, jumlah zat besi yang
diterima dari suplementasi untuk B sudah
terpenuhi.
Gizi Indon 2011, 34(1):14-22 Pengaruh suplementasi zat gizi mikro Dewi Permaesih, dkk.
18
Data Biokimia Sebelum dan Sesudah
Intervensi
Pemeriksaan kadar Hb dan konsentrasi
belajar dilakukan terhadap semua anak. Pada
awalnya masing-masing kelompok ada 50 anak.
Setelah evaluasi sebanyak 11 anak tidak
mengikuti sampai evaluasi kedua, sehingga
jumlah anak yang mempunyai data lengkap
untuk kelompok A, B dan C tinggal 47, 45 dan
47 anak. Tidak semua sampel dianalisa kadar
transferin dan vitamin A masing-masing hanya
dianalisis 75 persen dan 60 persen.
Hasil pengumpulan data utama seperti
kadar Hb, serum transferin, vitamin A, dan
konsentrasi belajar sebelum intervensi disajikan
pada Tabel 3, 4, 5 dan 6.
Tabel 3
Rata-rata Kadar Hb Sebelum Intervensi menurut Kelompok
Kelompok n
Rerata± SD
(g/dl)
Nilai
Min Max
A 47 11,3 ± 0,97 9,3 12,5
B 45 11,4 ± 0,91 9,0 12,5
C 47 11,3 ± 0,89 9,3 12,6
Dari Tabel 3 tampak bahwa rerata kadar
Hb sampel untuk masing-masing kelompok
tidak berbeda. Kelompok A sebesar 11,3±0,97
g/dl, kelompok B sebesar 11,4 ± 0,91 g/dl dan
11,3±0,89 g/dl. Rerata kadar Hb sebelum
intervensi tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna (F= 0,035, Sign= 0,965). Angka ini
menunjukkan bahwa keadaan status Hb layak
untuk dibandingkan. Bila terjadi perbedaan
pada akhir penelitian merupakan akibat dari
intervensi.
Indikator status besi selain kadar Hb,
dianalisis juga kadar Transferin yang jenuh
dengan ion besi yang disebut s.Transferin
(sTFR). Rata–rata kadar sTFR disajikan pada
Tabel 4.
Tabel 4
Rata-rata Kadar Transferin dalam Darah menurut Kelompok
Kelompok n Rerata ±SD Nilai
Min Max
A 36 2,15 ± 0,657 1,09 4,72
B 39 2,25 ± 0,747 1,04 3,93
C 37 2,12 ± 0,577 1,19 3,8
Dari Tabel 4 terlihat bahwa rerata kadar
transferin dalam darah pada awal penelitian
untuk ketiga kelompok (A, B dan C) tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna (F=
0,412, Sign= 0,663). Masing-masing sebesar
2,15 ± 0,657 Mg/L, 2,25 ± 0,747 Mg/L dan 2,12
± 0,577 Mg/L.
Rerata kadar vitamin A sebelum intervensi
menurut kelompok penelitian disajikan pada
Tabel 5.
Gizi Indon 2011, 34(1):14-22 Pengaruh suplementasi zat gizi mikro Dewi Permaesih, dkk.
19
Tabel 5
Rata-rata Kadar Vitamin A Sebelum Intervensi menurut Kelompok
Kelompok n Rerata ± SD Nilai
(Mg/dl) Min Max
A (Fe+ vit A) 29 19,1 ± 4,66 12,2 34,7
B ( Fe ) 29 19,0 ± 5,88 11,8 32,1
C (Placebo) 31 19,5 ± 5,97 9,8 32,5
Dari Tabel 5 tampak bahwa rerata kadar
vitamin A untuk ketiga kelompok penelitian
masih rendah dan tidak ada perbedaan yang
bermakna. Kelompok A sebesar 19,1 ± 4,66
Mg/dl, kelompok B sebesar 19,0 ± 5,88 Mg/dl
dan kelompok C sebesar 19,5 ± 5,97 Mg/dl.
Data Biokimia dan Konsentrasi Belajar
setelah Intervensi
Data biokimia setelah 3 bulan intervensi
disajikan pada Tabel 6, 7 dan 8.
Tabel 6
Rata-rata Kenaikan Kadar Hb sesudah intervensi menurut Kelompok
Kelompok n
Hb Akhir
Rerata ± SD (g/dl)
Perubahan ± SD
A 47 12,6 ± 0,6770 1,4 ± 0,79
B 45 12,4 ± 0,6889 1,2 ± 0,62
C 47 11,9 ± 0,9239 0,4 ± 0,25
F= 12,78
Sign = 0,000
F= 39,67
Sign = 0,000
Tabel 7 menunjukkan bahwa setelah
intervensi 3 bulan rerata kadar Hb Kelompok A
dan B masing-masing naik sebesar 1,4 ± 0,79
g/dl dan 1,2 ± 0,62 g/dl, sedangkan kelompok C
yang tidak mendapatkan pil zat besi atau
vitamin A juga terjadi kenaikan sebesar 0,4 ±
0,25 g/dl. Kenaikan merupakan efek
psykhologis dari plasebo, hal serupa juga
ditemukan pada penelitian sebelumnya.
Tabel 7
Rerata Penurunan Kadar Transferin Sesudah Intervensi menurut Kelompok
Kelompok n
STFR Akhir
Rataan ± SD (Mg/L)
Perubahan ± SD
A 34 1,14 ± 0,440 -1,00 ± 0,423
B 33 1,22 ± 0,4582 -1,03 ± 0,469
C 32 1,70 ± 0,5900 -0,37 ± 0,385
F= 12,632
Sign = 0,000
F= 24,499
Sign = 0,000
Dari Tabel 7 di atas, terlihat ada perbedaan
penurunan kadar transferin antara kelompok A
dan B masing-masing sebesar 1,0 Mg/L.
Sedangkan kelompok C turun sebesar 0,37
Mg/L. Penurunan kadar transferin menunjukkan
adanya perbaikan. Dengan uji Anova ditemukan
perbedaan yang bermakna dengan nilai F=
12,632 dan Sign= 0,000.
Gizi Indon 2011, 34(1):14-22 Pengaruh suplementasi zat gizi mikro Dewi Permaesih, dkk.
20
Tabel 8
Rata-rata Kenaikan Kadar Vitamin A Sesudah Intervensi menurut Kelompok
Kelompok N
Vit.A Akhir
Rerata ± SD (Mg/dl)
Perubahan ± SD
A 24 24,7 ± 5,2097 6,1 ± 4,99
B 29 21,0 ± 5,4019 2,0 ± 2,39
C 31 22,6 ± 7,9711 2,0 ± 5,69
F= 4,713
Sign = 0,012
F= 7,20
Sign = 0,001
Dari Tabel di atas terlihat bahwa kelompok
A yang memperoleh kapsul Vitamin A dan pil
zat besi 2 kali per minggu memberikan dampak
yang paling tinggi terhadap kenaikan kadar
Vitamin A sebesar 6,1±4,99 Mg/dl,
dibandingkan dengan kelompok B dan C yang
tidak memperoleh Vitamin A. Dengan uji Anova
ditemukan perbedaan kenaikan yang bermakna
dengan nilai F= 7,20 dan Sign= 0,001. Dari
Tabel 9, terlihat bahwa konsumsi energi dan
protein sebelum intervensi untuk ketiga
kelompok penelitian masih rendah berkisar 50–
55,9 persen dari angka kecukupan gizi (RDA).
Konsumsi vitamin A, zat besi dan vitamin C
sebelum intervensi juga sangat rendah berkisar
antara 36 – 44,4 persen, 24,2–30,0 persen dan
26,0–40,0 persen masing-masing untuk vitamin
A, zat besi dan vitamin C. Setelah intervensi
tiga bulan ternyata konsumsi zat gizi untuk
semua kelompok penelitian tidak jauh berbeda.
Tabel 9
Rerata Konsumsi Zat Gizi Sebelum dan Sesudah Intervensi menurut Kelompok
Zat Gizi
Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi
A B C A B C
Energi (kkal)
% AKG
1036±314,2
51,8
1027±315,1
51,4
1036±311,3
51,8
1045±285,0
52,3
1045±338,1
52,3
1008±366,9
50,4
Protein (g)
% AKG
32,4 ± 15,17
55,9
29,6 ± 12,2
51,0
33,4 ± 10,7
57,6
29,7 ± 11,61
51,2
31,8 ± 8,8
54,8
32,0 ± 11,32
55,2
Vitamin A (RE)
% AKG
180 ± 114,5
36,0
222 ± 187
44,4
215 ± 204,1
43,0
198 ± 105,5
39,6
286 ± 157,0
57,2
220 ± 141,4
44,0
Zat Besi (mg)
% AKG
4,2 ± 2,0
30,0
3,4 ± 1,70
24,2
3,6 ± 1,57
25,7
4,2 ± 2,20
30,0
3,3 ± 1,56
23,6
3,8 ± 1,58
27,1
Vitamin C (mg)
% AKG
20 ± 7,3
40,0
17 ± 10,5
34,0
13 ± 9,8
26,0
15 ± 11,80
30,0
13 ± 10,3
26,0
22 ± 12,2
44,0
BAHASAN
Penelitian dilakukan dengan memenuhi
kriteria suatu penelitian eksperimen, dilakukan
secara “double blind”, penentuan sampel
dilakukan secara acak, dilakukan pemberian
obat cacing sebelum dimulai perlakuan. Hasil
penelitian menunjukkan pemberian pil zat besi
yang diberikan bersamaan dengan pemberian
kapsul vitamin A memberi pengaruh yang
bermakna dibandingkan dengan plasebo.
Defisiensi zat besi timbul bila cadangan dalam
tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan
tubuh. Status besi ditentukan berdasarkan
kadar Hb dan serum transferin reseptor (sTFR),
Status besi berdasarkan kadar Hb dan
serum transferin reseptor (sTFR), status vitamin
A(retinol) dan nilai konsentrasi belajar, sebelum
pelaksanaan suplementasi antar ketiga
kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang
Gizi Indon 2011, 34(1):14-22 Pengaruh suplementasi zat gizi mikro Dewi Permaesih, dkk.
21
bermakna. Kondisi awal seperti ini cukup ideal
untuk mengamati pengaruh suplementasi,
karena perubahan yang terjadi lebih disebabkan
oleh suplementasi itu sendiri dan bukan
disebabkan oleh faktor lain.
Setelah 12 minggu suplementasi dilakukan,
terjadi kenaikan kadar Hb pada kelompok A
yang mendapat suplementasi Fe + Vitamin A,
sebesar 1,4 g/dl, lebih tinggi dari pada
kelompok B (1,2 g/dl) yang hanya mendapat Fe
saja. Keunggulan kelompok A sesuai dengan
teori bahwa vitamin A dapat meningkatkan
mobilisasi cadangan zat besi dalam hati
(Zimmerman et al. 2004)4. Kenaikan kadar Hb
yang cukup tinggi juga sejalan dengan tingkat
kepatuhan mengkonsumsi suplemen yang
mencapai lebih dari 80 persen.
Kenaikan kadar Hb pada kelompok
pembanding yang mendapat plasebo diduga
sebagai akibat “efek plasebo” dan pemberian
tambahan energi sebesar 15 persen RDA
dalam bentuk snack yang diberikan setiap kali
sebelum siswa mengkonsumsi suplemen.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mwanry et al, 20009, menunjukkan pemberian
kombinasi pil zat besi dan vitamin A
menghasilkan peningkatan yang lebih baik pada
kadar hemoglobin, penambahan berat badan
dan peningkatan tinggi badan dibandingkan
dengan yang hanya mendapat vitamin A dan
placebo. Perubahan kadar hemoglobin setelah
pelaksanaan suplementasi selama 3 bulan
menunjukkan perubahan masing-masing pada
kelompok yang hanya mendapat vitamin A
sebesar 1,35 g/dl, yang mendapat pil zat besi
sebesar 1,76 g/dl dan yang mendapat keduanya
sebesar 2,21 g/dl.
Mengingat masih rendahnya asupan zat
gizi termasuk konsumsi vitamin A maupun zat
besi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9 dan
risiko yang timbul akibat anemia, maka
diperlukan pemberian tambahan zat besi pada
kalangan anak sekolah dan akan lebih memberi
hasil bila diberikan bersamaan dengan
pemberian vitamin A.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Suplementasi zat gizi mikro (vitamin A dan
Fe) kelompok A dapat meningkatkan kadar
Hb lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok B yang hanya memperoleh pil
besi saja.
2. Suplementasi vitamin A dan Fe (kelompok
A) memberikan dampak positif terhadap
perubahan kadar transferin sebagai
indikator status besi pada anak sekolah.
Saran
Mengingat rata-rata konsentrasi belajar
anak SLTP di pedesaan masih rendah, maka
hasil penelitian ini dapat di implementasikan
secara nasional sebagai muatan program upaya
kesehatan sekolah untuk perbaikan konsentrasi
belajar anak sekolah. Perlu digalakkan kembali
kegiatan pemberian makanan tambahan anak
sekolah (PMT-AS) yang dipadukan dengan
suplementasi vitamin A dan pil zat besi yang
diberikan selama 2 kali per minggu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Kepala
Badan Litbangkes, Kepala Puslitbang Gizi dan
Makanan yang telah memberikan dana dan
kesempatan untuk melakukan penelitian ini.
Terima kasih disampaikan juga kepada Kepala
Puskesmas Sukaraja dan Rancabungur yang
telah membantu pemeriksaan kesehatan siswa
SLTP. Terima kasih pula disampaikan kepada
Kepala Sekolah MTs Fathusa’adah Sukaraja
dan SLTP Purnawarman Rancabungur beserta
para guru yang telah memberi izin dan
membantu kelancaran pelaksanaan penelitian.
Rasa terima kasih juga tak lupa disampaikan
kepada anak-anak/siswa SLTP yang telah
berpartisipasi pada penelitian. Ucapan terima
kasih disampaikan juga pada Yayasan Bina
Mandiri yang telah membantu pengumpulan
data konsentrasi belajar siswa SLTP. Kepada
semua pihak yang telah membantu
terlaksananya penelitian ini yang belum
disebutkan di sini, kami mengucapkan terima
kasih banyak.
RUJUKAN
1. Departemen Kesehatan R.I. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS),
Jakarta: Badan Litbang Kesehatan, 2008
2. Departemen Kesehatan R.I. Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT).
Jakarta: Badan Litbang Kesehatan, 2001.
Gizi Indon 2011, 34(1):14-22 Pengaruh suplementasi zat gizi mikro Dewi Permaesih, dkk.
22
3. Saidin dkk. Profil status gizi ,Kebugaran
dan Prestasi Belajar pada Murid SMP.
Laporan Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Gizi dan Makanan,
2009.
4. Wiryatmadji dkk. Laporan Survai WFP’S
Nutrition Rehabilitation. Programme in
Madura, Lombok and West Timor, Sept –
Nov. 2007. S.l: s.n, 2007.
5. Ke Chen, Xuan Zhang, Ting-Yu Li, Li Chen,
Ping Qu, You-Xue Liu. Co-assessment of
iron, vitamin A and growth status to
investigate anemia in preschool children in
suburb Chongqing. China. World J Pediatr
2009 ;5(4):275-281
6. Gamble MV, Palafox NA, Dancheck B,
Ricks MO, Briand K, Semba RD.
Relationship of vitamin A deficiency, iron
deficiency, and inflammation to anemia
among preschool children in the Republic
of the Marshall Islands. Eur J Clin Nutr.
2002. Oct 58(10):1396-401
7. Zimmermann MB, Biebinger R, Rohner F,
Dib A, Zeder C, Hurrell RF and Nourredine
Chaouki. Vitamin A supplementation in
children with poor vitamin A and iron status
increases erythropoietin and hemoglobin
concentrations without changing total body
iron. Am J Clin Nutr 2006;84:580-586.
8. Lemeshow et.al. Besar Sampel Dalam
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2000.
9. Lillian Mwanri, Anthony Worsley, Philip
Ryan and Joseph Masika. Supplemental
Vitamin A Improves Anemia and Growth in
Anemic School Children in Tanzania. J.
Nutr. 2000, 130: 2691–2696.

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN KARSINOMA NASOFARING SEBELUM dan SETELAH RADIOTERAP

(Studi Observasional di RSUP Dr Kariadi Semarang)
HEMOGLOBIN LEVELS OF NASOPHARYNGEAL CANCER PATIENTS BEFORE
AND AFTER RADIOTHERAPY:
(Observational Study in Kariadi Hospital)
ARTIKEL
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi
derajat strata-1 kedokteran umum
ANGGY PUSPASARI
G2A 006 018
PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2010
PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN PADA PASIEN KARSINOMA
NASOFARING SEBELUM dan SETELAH RADIOTERAPI DI RUMAH
SAKIT DOKTER KARIADI SEMARANG
Anggy Puspasari, Niken Puruhita2
ABSTRAK
Latar belakang: Kadar hemoglobin dapat dipakai sebagai salah satu indikator
penurunan status gizi seseorang. Radioterapi dapat mengakibatkan penurunan status
gizi pada pasien kanker nasofaring. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan
adanya perbedaan kadar hemoglobin pada pasien kanker nasofaring sebelum dan
sesudah radioterapi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain retrospektif, menggunakan data catatan
medik pasien kanker nasofaring yang berobat di RSUP Dr Kariadi Semarang dalam
rentang waktu tahun 2006-2010. Data yang telah diambil kemudian diolah dengan
menggunakan program komputer SPSS. Analisis data dalam penelitian ini meliputi
analisa deskriptif dan uji hipotesis. Uji hipotesis menggunakan uji Wilcoxon dengan
data tidak terdistribusi dengan normal. Derajat kemaknaan adalah p ≤ 0,05.
Hasil: Data penelitian tidak terdistribusi normal sehingga digunakan uji Wilcoxon.
Tidak didapatkan perbedaan kadar hemoglobin yang bermakna pada pasien dengan
kanker nasofaring sebelum dan sesudah radioterapi dengan p 0,056.
Kesimpulan: Tidak terdapat perubahan signifikan dengan kadar hemoglobin pada
pasien kanker nasofaring sebelum dan sesudah radioterapi di RSUP Dr. Kariadi
Semarang.
Kata kunci: Kadar hemoglobin, Radioterapi, Kanker nasofaring.
1Mahasiswa program pendidikan S-1 kedokteran umum FK Undip.
2Staf pengajar bagian Gizi FK Undip, Jl. Dr. Sutomo No. 18 Semarang.
HEMOGLOBIN LEVELS OF NASOPHARYNGEAL CANCER PATIENTS
BEFORE AND AFTER RADIOTHERAPY IN KARIADI HOSPITAL
SEMARANG
ABSTRACT
Background: Hemoglobin can be used as an indicator of a decline in nutritional
status. Radiotherapy can lead to decreased nutritional status in patients with
nasopharyngeal cancer. This study aimed to prove the existence of differences in
hemoglobin concentration in nasopharyngeal cancer patients before and after
radiotherapy.
Methods: This study used a retrospective design, whose sample were nasopharyngeal
cancer patients who seek treatment at Dr Kariadi were taken vulnerable time in the
years 2006-2010. The data has been retrieved and processed by using SPSS
computer program. Analysis of data in this study included descriptive analysis and
hypothesis testing. Test hypothesis using Wilcoxon test with data not normally
distributed. Degree of significance is p ≤ 0.05.
Results: The variable data is not normally distributed, then the analysis used
Wilcoxon test. This study found no significant differences in hemoglobin
concentration in patients with nasopharyngeal cancer before and after radiotherapy
with p 0.056.
Conclusion: There were no significant changes in hemoglobin concentration in
nasopharyngeal cancer patients before and after radiotherapy in Dr. Kariadi.
Keywords: Hemoglobin content, Radiotherapy, Nasopharyinx cancer.
PENDAHULUAN
Penelitian ini dilakukan karena karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas
yang termasuk dalam lima besar tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara
tumor ganas THT di Indonesia, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki
tempat pertama.1 Kasus karsinoma nasofaring (KNF) yang dilaporkan di RSUP Dr.
Kariadi Semarang adalah sebanyak 127 kasus KNF baru pada tahun 2000-2002. Pada
tahun 2002-2004 dilaporkan peningkatan kasus menjadi 455 kasus (152 kasus/tahun)
atau meningkat sebesar 35% per tahun dan diperkirakan akan terus meningkat dari
tahun ke tahun.2
Radioterapi merupakan pengobatan penyakit dengan radiasi pengion atau
disebut juga penyinaran dan dipilih sebagai salah satu metode pengobatan pada
pasien karsinoma nasofaring. Energi tinggi yang digunakan radiasi untuk membunuh
sel kanker dan mengecilkan tumor berasal dari X-rays, gamma rays, neutron, proton,
dan sumber-sumber yang lainnya. Radiasi dapat muncul dari luar tubuh melalui
mesin radiasoi (radioterapi eksternal), atau bisa juga muncul dari material radioaktif
di dalam tubuh yang berdekatan dengan sel kanker (radioterapi internal).3
Daerah kepala dan leher yang mendapat radioterapi, akan didapatkan kesakitan
yang bersifat sementara dan terkadang ditemukan juga ulserasi di daerah mulut dan
tenggorokan. Bila hal ini menjadi semakin parah, biasanya akan ada efek rasa ingin
muntah yang muncul dan tak jarang pasien membutuhkan obat penahan rasa sakit dan
membutuhkan suplemen gizi yang lebih.4
Kadar hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah
mendapatkan radioterapi belum pernah diteliti sehingga pengamatan kadar
hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring di bangsal Telinga Hidung Tenggorok
Kepala-Leher Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang sangat penting, karena akan
berdampak pada asupan makanan dan status gizi pasien yang mendapat radioterapi.
Penelitian kadar hemoglobin pasien karsinoma nasofaring dapat mengetahui sejauh
mana radioterapi berefek pada kadar hemoglobin pasien. Penelitian lebih lanjut akan
mengarah pada kadar hemoglobin pada pasien karsinoma nasofaring sebelum dan
sesudah radioterapi.
METODE
Penelitian ini mencakup bidang Ilmu THT dan Ilmu GIZI yang dilakukan pada
bulan Maret smpai dengan Mei 2010. Penelitian ini termasuk penelitian obsrvasional
dengan studi retrospektif. Populasi penelitian ini adalah pasien kanker nasofaring
yang masuk dalam kriteria inklusi sebelum dan setelah radioterapi di RSUP Dr
Kariadi. Sampel yang digunakan sebanyak 50 sampel diambil dari catatan medik
pasien kanker nasofaring yang mendapat radioterapi sebelum dan setelah radioterapi.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian radioterapi yang
mempunyai skala rasio dan variable tergantung adalah kadar hemoglobin yang
mempunyai skala rasio. Kedua data tersebut dilihat dari catatn medik pasien kanker
nasofaring yang mendapat radioterapi sebelum dan setelah yang diambil dari bagian
catatan RSUP Dr Kariadi Semarang. Data pasien kanker nasofaring merupakan data
sekunder karena dilihat melalui catatn medik pasien medik
Sebelum penelitian ini dimulai, dimintakan izin kepada Direktur RSUP Dr
Kariadi Semarang selaku pengurus tertinggi di RSUP Dr Kariadi Semarang. Data
yang diambil saat penelitian diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 15
for Windows. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji Wilcoxon oleh
karena data tidak terdistribusi dengan normal.
HASIL
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Maret 2010 – Juni 2010 di Bagian
Catatan medik RSUP Dr Kariadi Semarang. Sampel penelitian ini diambil dalam
kurun waktu lima tahun terakhir. Besar sampel minimal (60) tidak tercapai, data yang
digunakan dalam penelitian ini berjumlah 50 orang dengan hampir ke-seluruhan
pasien dari data tersebut telah menjalani radioterapi sebanyak >25 kali.
Tabel 1. Distribusi data menurut jenis kelamin
n Persen (%)
Laki – laki 34 68.0
Perempuan 16 32.0
Total 50 100.0
Data penelitian yang digunakan berjumlah 50 sampel yang diambil dari lima
tahun terakhir didapatkan prosentase laki-laki sebesar 68% dan perempuan 32%
sehingga dapat diketahui bahwa penderita kanker nasopharing banyak mengenai lakilaki
dibandingkan dengan perempuan.
Tabel 2. Rerata dan simpang baku usia, hemoglobin sebelum, dan sesudah
Rerata Simpang baku
Usia 42,96 14,69
Hemoglobin sebelum 11,99 2,08
Hemoglobin sesudah 11,76 2,87
Uji analisis menggunakan metode Wilcoxon test menunjukkan p sama dengan
0.056 atau p>0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat berbedaan kadar
hemoglobin yang bermakna pada pasien kanker nasofaring sebelum dan sesudah
radioterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan kadar hemoglobin pada pasien
dengan karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah radioterapi di RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian observasional retrospektif dengan
jumlah 50 sampel yang didapatkan dari data catatan medik pasien nasofaring yang
mendapat radioterapi antara tahun 2006 – 2010 di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Hemoglobin merupakan salah satu indikator penilaian status gizi secara
biokimia. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2005, menunjukkan bahwa kadar
hemoglobin, asupan kalori per hari dan asupan protein yang terkait dengan status
kinerja fisik pasien kanker. Secara umum, apabila seorang pasien yang memiliki
kinerja dengan status fisik yang baik maka akan memiliki kualitas hidup yang baik,
sehingga asosiasi antara status gizi dan kualitas hidup dapat terlihat dalam tingkat
tertentu dengan melihat status kinerja fisik pasien.5,6,7
Pada penelitian yang berbeda diteliti menggunakan uji korelasi prospektif
meneliti antara hemoglobin sebelum dan sesudah radioterapi dan didapatkan hasil
yang signifikan8, namun pada penelitian ini digunakan analisis retrospektif tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna, hal ini dapat disebabkan oleh karena derajat
kemaknaan dari penelitian yang terlalu lemah p=0,056 yang mungkin disebabkan
jumlah sampel yang didapat kurang. Didapatkan alasan lain yaitu pada data catatan
medik ditemukan perbaikan status gizi bila kadar hemoglobin menurun selama masa
radioterapi, hal-hal yang dilakukan meliputi transfusi darah dan peningkatan asupan
makanan. Tidak setiap catatan medik menjelaskan apa saja yang diberikan ke pasien
ketika kadar hemoglobin pasien menurun, karena bila kadar hemoglobin pasien
menurun <10, maka proses terapi radioterapi tidak dapat dilanjutkan dan harus
ditunda sampai kadar hemoglobin >10. Ditemukan juga keluhan mual, muntah,
pusing, dsb pada awal pemberian terapi tetapi tidak pada seluruh pasien dan pada
beberapa pasien tidak terlalu mengganggu.
KESIMPULAN
Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dari kadar hemoglobin pada pasien
kanker nasofaring sebelum dan setelah radioterapi. Hal ini dapat dikarenakan derajat
kemaknaan penelitian yang kecil (p=0,056), perbaikan yang terjadi selama proses
radioterapi, dan asupan gizi dari pihak rumah sakit maupun makanan yang
dikonsumsi pasien.
SARAN
Pada penelitian selanjutnya diharapkan data dikumpulkan dari luar RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Bila dipergunakan data catatan medik, perlu diperhatikan
konsistensi dari data catatan medik tersebut dalam penelitian selanjutnya. Dapat juga
dipenggunakan metode kasus kontrol pada stadium yang berbeda agar dapat
digunakan dan dibandingkan dengan hasil penelitian ini.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis hanturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena-Nya
artikel karya tulis ilmiah ini dapat selesai dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada rektor Universitas Diponegoro,
dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Dr. Niken
Puruhita,M.Med.Sc,SP.GK selaku dosen pembimbing karya tulis ilmiah, Bapak H.M.
Moenarso, SH.MM dan Soehartiek selaku orang tua, saudari-saudari kandung
penulis, dan semua pihak yang telah membantu penyusunan karya tulis ilmiah yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto, Damayanti. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Nurbaiti Iskandar, ed.
Tumor telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,
1989.p.71-84
2. Adinolodewo, Samsudin. Respon Klinik Pasca Radioterapi Pada Karsinoma
Nasofaring WHO 3. Konas Perhati Bali 2003
3. National Cancer Institute. Radiation Therapy. [online] 2009 [cited 2009 Oct 2].
Available from URL : http://www.cancer.gov/Templates/db_alpha.aspx?
CdrID=44971
4. Wikipedia. Side Effects of Radiotherapy. [online]. c2009 [update 2009 Oct 7;
cited 2009 Oct 9]. Available from URL :
http://en.wikipedia.org/wiki/Radiotherapy#Side_effects
5. Wibawa, I Putu Budi dan I Made Bakta. Hubungan Kadar Interleukin 6 dengan
Kadar Besi Serum Penderita Anemia pada Penyakit Kronik. Jurnal Penyakit
Dalam. Vol 9. No.1. Januari. 2008
6. Kenneth Hu dan Louis B. Harrison. Impact of Anemia in Patients with Head and
Neck Cancer Treated with Radiation Therapy. [online]. No date [cited 2010 Aug
5]. Available from URL : http://www.treatment-options.com/article_1.cfm?PubID=
ON06-1-1-03&Type=Article&KeyWords=
7. Tian, Jun. T, Zhen-chun Chen, and Li-fang Hang. The Effects of Nutrition Status
of Patients With Digestive System Cancers on Prognosis of the Disease. Cancer
Nursing. Volume 31 Number 6. November/December 2008. p:462 – 467.
[online]. Available from URL : http://www.nursingcenter.com/prodev/ce_article.
asp?tid=830441
8. B.Holzner, dkk. The impact of hemoglobin levels on fatigue and quality life of
cancer patients. [online]. No date [cited 2010 Aug 6]. Available from URL :
http://annonc.oxfordjournals.org/content/13/6/965.full

Friday, 19 April 2013

SEROLOGICAL DIAGNOSTIC OF AVIAN INFLUENZA INFECTIONS

298
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.5 July 2009 p. 298-308
SEROLOGICAL DIAGNOSTIC OF AVIAN
INFLUENZA INFECTIONS
Muflihanah
Doctoral Programme, Hasanuddin University and Balai Besar Veteriner
Maros
Corresponding author: muflibd@yahoo.com
ABSTRACT
Diagnostic laboratories will be needed to help handle and control Avian Influenza (AI)
disease. Although virus isolation techniques are the gold standard for detection of
AI, serological testing is still an important confirmatory test. This review highlights
basic information for the selection of serological tests, especially simple serological
testing techniques.
Keyword: avian influenza, serologic
DIAGNOSA SEROLOGIS PENYAKIT AVIAN INFLUENZA
Diagnosa laboratorium sangat diperlukan dalam membantu penanganan dan
pengendalian penyakit Avian Influenza (AI). Walaupun teknik isolasi virus merupakan
standar emas pengujian AI, dukungan pengujian serologis juga sangat penting.Tulisan
ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai dasar pemilihan uji serologis
dan beberapa teknik pengujian serologis yang sederhana pada penyakit Avian
influenza.
Kata kunci: avian influenza, serologi
PENDAHULUAN
Penyakit Avian influenza (AI) adalah
penyakit hewan menular yang dapat
menginfeksi beragam spesies termasuk
unggas, babi, kuda, hewan air dan
manusia disebabkan oleh virus AI.1 Virus
ini dikelompokkan ke dalam famili
Ortomyxoviridae, yang terbagi dalam tiga
tipe yaitu Influenzavirus tipe A, B dan
C.2 Pembagian menjadi tiga tipe
tersebut berdasarkan karakter protein
nukleoprotein (NP) dan matriks (M)
sehingga virus influenza sangat berbeda
secara antigenik.1,3,4 Influenza tipe A
dibagi menjadi subtipe berdasarkan
karakteristik antigenik pada glikoprotein
permukaan hemaglutinin (HA) dan
neuraminidase (NA).1-3 Saat ini terdapat
16 subtipe hemaglutinin (H1 - H16) dan
neuraminidase (N1-N9) yang telah
diidentifikasi.3,5 Semua subtipe influenza
A ditemukan pada jenis unggas air yang
merupakan reservoar alami virus AI.3,6,7
Berdasarkan patogenisitasnya, virus AI
dibagi menjadi high pathogenic avian
influenza (HPAI) dan low pathogenic
avian influenza (LPAI).2 Pada tahun 1996
virus AI subtipe H5N1 pertama kali
REVIEW
299
Muflihanah. Serological diagnostic of avian influenza
diisolasi dari angsa yang teriinfeksi virus
di Propinsi Guangdong, Cina Selatan.8-10
Virus ini menyebar dengan cepat dan
menyebabkan kematian pertama pada
manusia di Hongkong tahun 1997.8-10
Tahun 2003 kemudian menyebar ke
beberapa negara Asia yaitu Cina,
Thailand, Vietnam, Indonesia, Kamboja
dan secara sporadis menular ke manusia
serta merupakan ancaman besar bagi
industri peternakan.8-10
Seperti halnya respon imun terhadap
virus dan mikroorganisme lain, respon
imun terhadap infeksi virus AI juga
melibatkan respon innate immunity
maupun adaptive immunity.11 Untuk
membatasi penyebaran virus dan
mencegah reinfeksi, sistem imun harus
mampu menghambat masuknya virion
ke dalam sel dan memusnahkan sel yang
terinfeksi.12 Antibodi spesifik mempunyai
peran penting pada awal terjadinya
infeksi dimana dapat menetralkan
antigen virus dan melawan virus sitopatik
yang dilepaskan oleh sel yang
mengalami lisis.12 Untuk mendeteksi
adanya respon imun dalam proses
infeksi virus AI maka dibutuhkan
pengujian di laboratorium.
Diagnosa laboratorium sangat penting
dalam pengendalian penyakit termasuk
penyakit influenza baik dalam kondisi
wabah musiman maupun pandemik.
Diagnosa yang cepat dan akurat akan
mempercepat penanganan dan
pengendalian penyakit.13 Diagnosa
penyakit AI berdasarkan gejala klinik,
hasil pengujian serologis dan identifikasi
agen (virus).14 Identifikasi virus
menggunakan teknik isolasi virus pada
telur ayam berembrio (TAB),
Haemaglutinination test (HA), tissue
culture dengan menggunakan Madin-
Darby canine kidney (MDCK) atau African
green monkey kidney vero cell line,
konvensional Polymerase Chain
Reaction (PCR), Real Time PCR,
immunohistokimia dan immunofluorescence
assay (IFA).12, 15
Pengujian serologis menggunakan teknik
Agar Gel Immunodiffusion (AGID),
Enzym Linked Immunossorbent Assay
(ELISA), Haemaglutination Inhibition (HI)
dan serum netralisasi.12 Pengujian
serologis mendeteksi antigen
mikroorganisme penyebab infeksi atau
antibodi terhadap komponen
mikroorganisme bersangkutan dalam
serum. Adanya antigen atau partikel
antigen mikroorganisme menunjukkan
adanya infeksi dengan mikroorganisme
yang relevan sedangkan antibodi
menunjukkan bahwa pernah terinfeksi
atau pernah terpapar dengan
mikroorganisme tersebut.16 Prinsip
pengujian serologis dari penyakit AI
adalah berdasarkan reaksi antigen dan
antibodi dengan menggunakan antibodi
spesifik sehingga dapat memberikan
hasil yang memiliki sensitifitas dan
spesifitas pengujian yang tinggi.
Tujuan penulisan ini adalah untuk
mengkaji kembali mengenai dasar
pemilihan pengujian serologis AI dan
membandingkan tiga teknik pengujian
serologis AI yang sederhana yaitu AGID,
ELISA dan HI, sehingga dapat digunakan
sebagai sumber informasi oleh
laboratorium diagnosa dalam rangka
membantu dalam penanganan dan
pengendalian penyakit AI.
PEMBAHASAN
Pada infeksi virus AI, respon imun
melibatkan respon innate immunity dan
adaptive immunity. Untuk mengkaji
adanya respon imun pada penyakit AI
maka dibutuhkan pengujian di
300
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.5 July 2009 p. 298-308
laboratorium. Walaupun teknik isolasi
virus merupakan standar emas dalam
pengujian AI, pengujian serologis juga
diperlukan untuk membantu dalam
peneguhan diagnosa, monitoring pasca
vaksinasi dan pengujian antigenitas
isolat virus AI. Pengujian serologis
adalah pengujian yang menggunakan
sampel berupa serum.17 Prinsip
utamanya adalah mereaksikan antibodi
dengan antigen yang sesuai. Dalam
pelaksanaan pengujian serologi AI
dibutuhkan antigen dan antibodi.
Antibodi merupakan komponen utama
dalam reaksi serologis.17 Afinitas dan
spesifitas antibodi merupakan faktor
penting dalam menentukan antibodi yang
dipergunakan dalam pengujian
serologis.17 Affinitas antibodi menentukan
efektifitas interaksi antigen dan antibodi,
sedangkan spesifitas menentukan reaksi
silang dari antibodi terhadap antigen atau
analit lainnya.17 Cara yang digunakan
untuk memperoleh antibodi spesifik
adalah dengan imunisasi pada hewan
percobaan. Antibodi yang dihasilkan
dengan cara imunisasi disebut sebagai
poliklonal antibodi yang terdiri dari
campuran molekul antibodi yang berasal
dari banyak klon sel B yang mempunyai
affinitas dan spesifitas yang berbeda.16,17
Sedangkan antibodi monoklonal terdiri
atas molekul-molekul imunoglobulin
yang identik, homogen dan memiliki
spesifitas terhadap determinan antigenik
tertentu yang dihasilkan dari klon
tunggal. Antibodi tersebut dapat
disintesis di laboratorium dengan
menggunakan teknik hibridoma yaitu sel
yang dihasilkan dengan menyatukan dua
sel yang berlainan.16,17 Antibodi
monoklonal merupakan bahan standar
yang banyak digunakan dalam
laboratorium untuk mengidentifikasi
penyakit AI.
Pengujian serologi AI dapat digunakan
ketika pengujian isolasi dan deteksi
antigen negatif, tidak mampu dilakukan
dan tidak tersedia peralatan untuk
pengujian isolasi.15 Pengujian serologis
AGID dan ELISA pada penyakit AI
berdasarkan persamaan antigenik
protein NP dan M yang ada dipermukaan
virus12. Protein matrix (M1 dan M2)
mempunyai peran dalam penyusunan
virion AI. Protein M1 tidak hanya sebagai
komponen struktural virus, tetapi juga
berperan pada awal infeksi dalam
pemisahan protein M1 dan
ribonukleoprotein (RNP) untuk masuk ke
dalam sitoplasma sel tropisme. Di lain
pihak, protein M2 bersama dengan
protein HA dan NA menyusun struktur
amplop virus dan berperan sebagai
saluran ion.18 Sedangkan pengujian HI
berdasarkan peran protein hemaglutinin
(HA) yang terdapat pada amplop virus.18
Protein ini merupakan target awal dalam
pembentukan antibodi inang.18 Pada
awal infeksi, protein ini akan berikatan
dengan reseptor sel inang dan
melepaskan (RNP). Akibat aktivasi
prekursor HA (HA0) oleh protease inang,
protein akan terbelah menjadi HA1 dan
HA2. Protein HA1 akan berikatan dengan
reseptor dan merupakan target utama
untuk timbulnya respons imun,
sedangkan protein HA2 akan
memfasilitasi fusi antara amplop virus
dengan membran endosomal inang.12,18
Salah satu sifat virus influenza adalah
kemampuannya untuk melakukan variasi
antigenik dengan melakukan point
mutation dan reassorment sehingga
virus menjadi resisten terhadap imunitas
yang ada ketika terjadi infeksi
sebelumnya.
Menurut OIE (2008), diagnosa serologis
terdiri dari 2 bentuk yang terdiri dari
301
Muflihanah. Serological diagnostic of avian influenza
bentuk pertama, mendeteksi antibodi
terhadap virus AI yaitu virus tipe influenza
A dengan pengujian AGID dan ELISA
dan bentuk kedua akan mendeteksi
subtipe virus AI yang menyebabkan
infeksi yaitu mendeteksi antibodi subtipe
spesifik yaitu H dengan pengujian HI.12
Pemilihan pengujian serologis AI
berdasarkan hal tersebut di atas dan
berdasarkan sensitifitas dan spesifitas
pengujian. Sensitifitas dan spesifitas
pengujian serologis sangat penting
karena berpengaruh pada akurasi
pengujian.
Agar Gel Immunodifusion (AGID)
AGID atau disebut juga sebagai teknik
Ouchterloney, disebut juga sebagai
double immunodifusion test dan agar gel
Gambar 2. Respon Imunologi Infeksi Avian Influenza (Modifikasi
Nature review, 2010 32)
a. Antibody mediated immunity
b. Cell mediated immunity
precipitin (AGP) merupakan salah satu
cara yang masih banyak dipakai untuk
menganalisis atau mengukur kadar
antigen atau antibodi termasuk antibodi
terhadap virus AI.19 Antibodi yang
direaksikan dengan antigen spesifik
membentuk kompleks yang tidak larut
(presipitat) yang dapat dianalisis dengan
berbagai cara. Reaksi presipitasi dapat
dilakukan dalam media cair maupun
media semisolid (gel).16
Semua virus influenza A memiliki struktur
antigenik yang sama pada antigen NP
dan M. Hal ini berkaitan dengan ada
tidaknya antibodi virus influenza yang
dapat dideteksi dengan menggunakan
metode AGID.15 Keuntungan teknik AGID
yaitu spesifik untuk mendeteksi influenza
tipe A, mudah, membutuhkan bahan dan
302
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.5 July 2009 p. 298-308
alat yang sedikit, sedangkan
kekurangannya yaitu bersifat semi
kuantitatif, sensifitas terbatas, interpretasi
bersifat subyektif dan membutuhkan
waktu kurang lebih 24 jam.19
Prosedur pengujian AGID yaitu sebanyak
0.9% agarose dalam PBS (0.01M, pH
7.2) dengan 8% sodium chloride,
kemudian di autoclave 10 menit dan
didinginkan sampai 60 – 80oC kemudian
dituang pada petri pada hari yang sama
pada saat akan digunakan. Sebanyak
15 – 17 ml agar dituang pada petri ukuran
100 x 15 mm dan 5-6 ml pada petri
ukuran 60 x 15 mm.15, 19 Setelah itu dibuat
lubang pada agar untuk memasukkan
antigen, antiserum dan sampel serum
yang akan diuji.
Gambar 1. Cara pembuatan media agar, pada pengujian AGID (Modifikasi Senne,
200619)
Perbandingan konsentrasi antigen dan
antibodi merupakan faktor terpenting
dalam reaksi presipitasi.16 Pembentukan
presipitasi terjadi ketika konsentrasi
antigen dan antibodi mencapai
keseimbangan. Kondisi antigen
berlebihan akan mengakibatkan
melarutnya kembali komplek yang
terbentuk sedangkan antibodi yang
berlebihan menyebabkan kompleks
antigen dan antibodi tetap ada dalam
larutan tanpa membentuk prisipitasi.16
Hal yang pertama disebut postzone
effect dan yang kedua disebut prozone
effect.16 Kesimbangan antara antigen
antibodi terjadi pada zona ekivalen.16
Hasil positif jika terbentuk lengkung atau
garis presipitasi.
Gambar 2.Hasil reaksi antigen dan antibodi pada pengujian AGID (Modifikasi
Senne, 200619 )
Sampel 3
Sampel 2
Sampel 1
Anti serum
Anti serum
Anti serum
Antigen
303
Muflihanah. Serological diagnostic of avian influenza
Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA)
Pengujian ELISA adalah salah satu
pengujian yang berdasarkan reaksi
antara antigen dan antibodi yang spesifik
dan hasil reaksinya dapat diamati
dengan menggunakan label atau marker
dengan enzim.17 Reaksi dilakukan
dengan cara mengabsorbsikan antigen
dan antibodi pada suatu solid phase.
Enzim dapat dilabel oleh antigen atau
antibodi yang akan memberikan warna
dengan penambahan substrat dan
pembentuk warna. Enzim yang banyak
digunakan adalah horseradish
peroxidase dan alkaline phosphatase.17
Sedangkan substrat yang sering dipakai
adalah o-phenylenediamine (OPD) dan
tetramethylbenzidine (TMB).16 Pengujian
ELISA dibagi dalam beberapa bentuk
yaitu kompetitif ELISA yang dibagi
menjadi direct competitive ELISA dan
indirect competitive ELISA. Bentuk lain
adalah sandwich ELISA17.
Pengembangan pengujian kompetitif
ELISA pada AI untuk menggantikan
pengujian AGID dalam mendeteksi virus
AI tipe influenza A. Pengujian ini dapat
mendeteksi antibodi virus AI dengan
menggunakan sampel serum dari ayam,
babi dan kuda. Pengujian ELISA AI
mendeteksi antibodi terhadap virus
influenza A dengan pengikatan antigen
dan monoklonal antibodi pada epitop
nukleoprotein virus influenza A.
Pengujian ELISA lebih sensitif
dibandingkan dengan AGID. Dari
penelitian yang dilakukan oleh Selleck
(2003) pada 232 serum ayam yang
membandingkan tiga pengujian serologis
yaitu HI, ELISA dan AGID, menunjukkan
bahwa HI dan kompetitif ELISA akan
memberikan sensitifitas dan spesifitas
sebesar 100% sedangkan AGID
memberikan hasil sensitifitas sebesar
41,5 % dan spesifitas sebesar 100% jika
dibandingkan dengan pengujian HI.20
Gambar 3 Reaksi kompetitif ELISA (Modifikasi Killian, 200621)
304
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.5 July 2009 p. 298-308
Keuntungan pengujian ELISA AI yaitu
cepat, dapat menguji lebih dari 90
sampel dalam waktu 2-3 jam, sensitifitas
sangat tinggi, volume sampel yang
digunakan sangat sedikit kurang dari 10
dan mudah dilakukan. Sedangkan
kekurangannya yaitu membutuhkan
beberapa peralatan yang mahal yaitu
ELISA reader dan washer, hanya
mengukur tingkat keterpaparan dan
respon vaksinasi, tidak mampu
mendeteksi infeksi akut dan jika hasil
ELISA negatif maka dilakukan uji
konfirmasi misalnya uji HI.21
Kit pengujian ELISA tersedia dalam
bentuk komersil dan prosedur pengujian
berdasarkan prosedur yang dikeluarkan
oleh masing-masing produsen. Karena
memiliki sensitifitas yang tinggi,
pengujian ELISA dapat digunakan dalam
melakukan studi seroepidemiologi
penyakit AI.22
Hemagglutin Inhibition (HI)
Organisme tertentu mampu
mengaglutinasi eritrosit unggas dan
mamalia. Organisme yang melakukan
hemaglutinasi termasuk virus-virus
dalam famili Orthomyxoviridae,
Paramyxoviridae, sebagian Adenovirus,
Reovirus, Parvovirus dan Coronavirus.23
Virus influenza termasuk virus
Ortomyxoviridae memiliki protein pada
amplop yang disebut hemaglutinin (HA)
yang mengikat reseptor sialic acid pada
sel. HA berperan di awal infeksi yang
sangat menentukan kemampuan
attachment virus AI ke permukaan sel.11
HA bersifat imunogenik karena mampu
menginduksi antibodi protektif dan
penghambat attachment virus ke
permukaan sel inang sehingga mampu
mencegah infeksi11. Virus ini juga akan
berikatan dengan eritrosit (sel darah
merah), menyebabkan pembentukan
suatu kisi yang disebut hemaglutinasi
dan merupakan dasar untuk menentukan
tingkat virus yang ada dalam sampel.24
Aktivitas ini diperankan oleh protein HA
yang merupakan glikoprotein
permukaan.25 Aglutinasi eritrosit adalah
dasar pengujian hemaglutination (HA)
dan hambatan aglutinasi dengan
menggunakan antiserum subtipe HA
yang spesifik adalah merupakan dasar
pengujian HI.26
Prinsip pengujian HI adalah antibodi
terhadap virus akan mencegah
pengikatan virus dengan sel darah
merah.25 Oleh karena itu, hemaglutinasi
dihambat ketika terdapat antibodi dalam
serum. Pengenceran tertinggi dari serum
yang mencegah terjadinya hemaglutinasi
disebut titer HI serum.25 Keberadaan
antibodi dapat terdeteksi dengan uji HI
setelah tujuh hari post infeksi atau
vaksinasi.26
Pengujian HI adalah merupakan standar
emas pengujian serologi AI untuk
mendeteksi antibodi terhadap virus AI
pada unggas dan mamalia termasuk
manusia.4,27 Pengujian HI digunakan
untuk mengidentifikasi subtipe yang
menyebabkan infeksi dan juga
digunakan dalam menentukan
imunogenisitas dari vaksin yaitu level
antibodi yang dihasilkan.28 Pengujian HI
merupakan metode yang relatif murah
dan sederhana untuk mengukur antibodi
hemaglutinin spesifik pada serum yang
sudah divaksinasi atau terinfeksi virus AI
dan titer antibodi yang berhubungan
dengan imunitas protektif pada unggas
dan manusia.29 Selain itu deteksi
antibodi subtipe spesifik sangat penting
untuk studi epidemiologi. Keuntungan
pengujian HI yaitu sederhana, murah,
cepat, material mudah didapatkan, dapat
menggunakan antigen inaktif, spesifik
untuk subtipe H, digunakan untuk
305
Muflihanah. Serological diagnostic of avian influenza
mengidentifikasi isolat virus dan
mengukur titer antibodi. Sedangkan
kekurangannya yaitu inhibitor tidak
spesifik, membutuhkan antigen dari
setiap subtipe (16 H) dan dibutuhkan
pengalaman serta keahlian dalam
melakukan interpretasi.30
Masalah juga sering terjadi ketika
penggunaan antiserum tidak spesifik
yang nantinya akan berhubungan dengan
akurasi pengujian, perbedaan
kemampuan virus dalam mengaglutinasi
eritrosit, dan sering terjadinya antigenic
drift yang akan memberikan hasil negatif
palsu.25 Pengujian HI juga dapat
digunakan dalam mengevaluasi
perubahan antigenik dari virus AI dan
mengevaluasi strain vaksin yang
dihubungkan dengan strain virus AI yang
beredar di lapangan.26
Dalam pengujian HI dibutuhkan
beberapa variabel pengujian yang dapat
mempengaruhi hasil dan akurasi
pengujian yaitu microplate, pengenceran,
pembacaan, interpretasi, antigen,
antiserum dan sel darah merah.30 Pada
pengujian HI penggunaan sel darah
merah berdasarkan spesies. Menurut
OIE (2008), jika sampel berasal dari
unggas maka sel darah merah yang
digunakan yaitu sel darah merah ayam
yang specific pathogen free (SPF) dan
spesific antibody negative (SAN).12
Sedangkan sampel dari mamalia
termasuk manusia digunakan sel darah
merah kuda.29 Penggunaan microplate
ada dua macam yaitu round (U) bottom
dan V bottom. Prosedur pengujian HI
yaitu kedalam microplate dasar U atau
V masukkan 25 μl PBS dari sumur 1 -12
kemudian lubang pertama diisi dengan
serum dan diencerkan bertingkat
kelipatan dua sampai sumur 12.
Kemudian antigen dimasukkan sebanyak
25 μl (4 HAU) dimasukkan ke dalam
semua lubang, kemudian dicampur
homogen 10 sampai 15 detik dan
diinkubasi pada suhu ruangan selama 30
menit. Sebanyak 25 μl suspensi RBC
ditambahkan ke dalam semua lubang,
microplate di kocok dengan cara
digoyang-goyangkan dan diinkubasi
pada suhu ruang selama 30 menit. Hasil
uji HI positip ditandai dengan adanya
endapan pada dasar microplate, tidak
ada aglutinasi atau dilakukan streaming.
Titer HI dihitung berdasarkan
pengenceran tertinggi isolat virus yang
mengendapkan RBC.12
Gambar 4. Hasil pengujian (Modifikasi Noah et al, 2009 29)
Tidak aglutinasi aglutinasi
306
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.5 July 2009 p. 298-308
Gambar 5. Hasil pengujian HI (Modifikasi Mayer, 2009 31)
½ ¼ 1/8 1/16 1/32 1/64 1/128 1/256 1/512 1/1024 Pos Neg
1
2
3
4
5
6
7
8
64
8
512
<2
32
128
32
4
Pasien Titer
Titer HI positif jika terjadi hambatan
aglutinasi pada pengenceran 1/16 (24
atau log24) dengan menggunakan
antigen 4 HAU. Beberapa laboratorium
menggunakan 8 HAU dan hasil titer HI
positif pada pengenceran 1/8 ((23 atau
log34).12
KESIMPULAN
Pengujian serologis sangat penting
dalam mendukung penegakan diagnosa
penyakit AI disamping gejala klinis dan
isolasi serta identifikasi virus. Pemilihan
uji serologi berdasarkan tujuan dari
pengujian dan harus memiliki sensitifitas
dan spesifitas yang tinggi. Pemilihan uji
ELISA dan AGID untuk mengidentifikasi
antibodi terhadap virus influenza tipe A
dan uji HI untuk mengidentifikasi antibodi
terhadap spesifik subtipe H. Untuk uji
konfirmasi jika hasil positif pada uji
serologis, dengan menggunakan sampel
swab trachea atau kloaka dari individu
yang sama dilakukan uji isolasi virus
pada telur bertunas, biakan jaringan serta
teknik reverse transcriptase Polymerase
Chain Reaction (rt PCR) baik metode
konvensional maupun real time PCR.
Isolasi virus adalah merupakan gold
standar dalam diagnosa AI sedangkan
real time PCR adalah merupakan salah
satu metode alternatif yang dapat
digunakan dalam diagnosa molekuler
terhadap AI karena cepat dan resiko
kontaminasi sangat kecil.
307
Muflihanah. Serological diagnostic of avian influenza
DAFTAR RUJUKAN
1. Dharmayanti NLPI, Damayanti R, Wiyono
A, Indriani R, Darminto. Identifikasi Virus
Avian Influenza Isolat Indonesia dengan
Reverse Transcriptase–Polymerase Chain
Rection (RT-PCR). JITV 2004; 9: 2.
2. Capua I, Marangon C. Control of Avian
Influenza in Poultry. Emerging Infectious
Diseases 2006; 12 : 9.
3. Wiyono A, Indriani R, Dharmayanti NLPI,
Damayanti R, Parede L, Syafriati T,
Darminto. Isolasi dan Karakterisasi Virus
Highly Pathogenic Avian Influenza Subtipe
H5 dari Ayam Asal Wabah di Indonesia.
JITV 2004; 9: 1
4. De Jong MD, Hien TT . Avian Influenza A
(H5N1). Journal of Clinical Virology 2005;
35: 2–13
5. Russell CJ, Webster RG. The Genesis of
aPandemic Influenza Virus. DOI 10.1016/
j.cell.10.019. 2005
6. Lee MS, Chang PC, Shien JH, Cheng MC,
Shieh HK. Identification and subtyping of
avian influenza viruses by reverse
transcription-PCR. Journal of Virological
Methods 2001; 97: 13–22
7. Steinhauer DA. Role of Hemagglutinin
Cleavage for the Pathogenicity of Influenza
Virus. Virology 1999; 258: 1-20
8. Smith GJD, Naipospos TSP , Nguyen TD,
de Jong MD, Vijaykrishna D, Usman TB,
Hassan SS, Nguyen TV, Dao TV, Bui NA,
Leung MD, Nguyen VC, Hien TT, Farrar J,
Webster RG, Chen H, Peiris JSM, Guan Y.
Evolution and Adaptation of H5N1 Influenza
Virus in Avian and Human Hosts in
Indonesia and Vietnam. Virology 2006; 350:
258-68.
9. Lam YTT, Hon CC, Pybus OG, Kosakovsky
Pond SL, Wong RTY, Yip CW, Zenf F,
Leung FCC. Evolutionary and Transmission
Dynamics of Reassortant H5N1 Influenza
Virus in Indonesia Plos Pathogens, vol 4,
Issue 8. Available at
www.plospathogens.org
10. Takano R, Nidom CH, Kiso M, Muramoto
Y, Yamada S, Tagawa, Macken C, Kawaoka,
Y. 2009. Phylogenetic Characterization of
H5N1 Avian Influenza Viruses Isolated in
Indonesia from 2003 -2007. Virology 2008;
390: 13-21
11. Wibawan, I Wayan Teguh, Mahardika,
Gusti Ngurah. Mekanisme Kekebalan
terhadap Avian Influenza pada Unggas.
Hemera Zoa 2006; 83 (1): 7-17
12. OIE. Manual OIE , Avian Influenza Chapter
2. 7.12. 2008
13. Dwyer DE, Smith DW, Catton MG, Barr
IG. Laboratory diagnosis of human seasonal
and pandemic influenza virus infection.
MJA 2006; 185: 10
14. Muflihanah, Hardiman, Dini WY, Ratna,
Supri, Yudi T, Benyamin KS. Evaluasi
TaqMan Real Time Reverse Transcriptase
PCR (RRT-PCR) dalam Diagnosa Avian
Inf luenza Type A dan Subtype H5.
Diagnosa Veteriner, 5 : 1 ISSN 0216-1486.
2007
15. Hasan Z. Avian flu diagnostics. Infectious
Diseases Journal of Pakistan 2005; 135 -
136.
16. Kresno, S. B. Imunologi : Diagnosis dan
Prosedur Laboratorium. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
17. Murdiati, T. B. Enzy Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) untuk kontaminasi dan
cemaran. Balai Penelitian veteriner. Bogor
2003
18. Suwarno, Raharjo AP, Faizah, Srihanto EA.
Karakterisasi Avian Influenza dengan Uji
Serologik dan Reverse Transcriptase-
Polymerase Chain Reaction. Media
Kedokteran Hewan 2006; 22: 2
19. Senne, D. Agar Gel Immunodiffusion
(AGID) Test Principles and Techniques.
USDA APHIS vs NVSL. IOWA USA 2006
20. Selleck P, Daniels P, Batson, Influenza
virus: A competitive ELISA for the detection
of antibodies to Avian influenza virus in
various sera. Australian Animal Health
Laboratory. Geelong Australia. 2003
308
The Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.5 July 2009 p. 298-308
21. Killian M L. Avian Influenza Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA). USDA
APHIS vs NVSL. IOWA USA 2006.
22. Song D S, Lee YJ, Jeong O M, Kim YJ,
Park CH, Yoo J E, Jeon WJ, Kwon J H,
Ha GW, Kang B K, Lee C S, Kim HK, Jung
B Y, Kim JH. Oh JS. Evaluation of a
competitive ELISA for antibody detection
against avian influenza virus. J. Vet. Sci
2009; 10 (4): 323 -29
23. Tizard I. Pengantar imunologi veteriner.
Airlangga University Press 1988.
24. Racienello, V. 2009 Influenza
hemagglutination inhibition assay 1. http:/
/www.virology.ws/2009/05/27/influenzahemagglutinat
ion- inhibit ion-as say/
? u tm_ s o u r c e = f e e d b u r n e r & u tm
medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+
VirologyBlog+(virology+blog)
25. Leuwerke B, Kitikoon P, Evans R, Thacker,
E. Comparison of three serological assays
to determine the cross-reactivity of
antibodies from eight genetically diverse
U.S. Swine influenza viruses J Vet Diagn
Invest 2008; 20: 426–32
26. Pedersen JC. Test for Avian Influenza Virus
Subtype Identification and the Detection
and Quantitation of Serum Antibodies to the
Avian Influenza Virus. Methods in Molecular
Biology 2010; 436: 53-6.
27. Rowe T, Abernathy RA, Hu-Primmer J,
Thompson WW, Lu X, Lim W, Fukuda K,
Cox NC, Katz JM. Detection of Antibody to
Avian Influenza A (H5N1) Virus in Human
Serum by Using a Combination of Serologic
Assays. Journal of Clinical Microbiology
1999; 37 (4): 937-43
28. Newton DW, Treanor JJ, Menegus MA.
Clinical and Laboratory Diagnosis of
influenza Virus Infections. The American
journal of managed care 2000; 6 (5): 265-
75
29. Noah DL, Hill H, Hines D, White L, Wolff.
MC. Qualification of the Hemagglutination
Inhibition Assay in Support of Pandemic
Influenza Vaccine Licensure. Clinical and
vaccine immunology 2009; 16 (4): 558–
566
30. Selleck P, Axell A. Reliable and Repeatable
Hemagglutin Inhibition Assays. OFFLU.
Jakarta.2008
31. Mayer, Microbiology and Immunology On
Line. University of South Carolina School
of Medicine 2009
32. Nature review. Immunology. Avalaible from:
http//www.google.com